SURABAYA – Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) merupakan momen sakral yang diperingati oleh warga Indonesia setiap tahunnya. Momen kemerdekaan yang ke-77 ini menjadi ajang refleksi dan mengenang kembali perjuangan pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Airlangga (UNAIR) Mulyadi J Amalaik SS Msi menilai, banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dalam memaknai kemerdekaan. Menurutnya, pemuda hari ini hidup di era teknologi informasi. Mereka adalah generasi digital yang dipenuhi dengan segala ambiguitas dan kontradiksi perilaku yang mengikuti kemajuannya. Pemuda dapat memanfaatkan teknologi sebagai media perjuangan untuk memajukan diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Baca juga:
Wali Kota Blitar Santoso Hadiri Car Free Day
|
“Bukan malah sebaliknya, menyumbang benih perpecahan bangsa atau memproduksi sikap nasionalisme eksklusif, ” ungkapnya, Selasa (16/8/2022).
Kedua, lanjutnya, kemerdekaan RI yang ke-77 tahun ini harus ditelusuri dengan kecerdasan intelektual dan emosional oleh pemuda melalui pembacaan sejarah yang tekun. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga 77 tahun inilah yang sesungguhnya akan menjadi spirit penuntun posisi pemuda.
“Spirit itu berupa posisi pemuda dalam mengambil sikap dan posisi di kancah internasional, ” tuturnya.
Civitas Akademika Memaknai Kemerdekaan
Dalam memaknai kemerdekaan, Mulyadi menerangkan bahwa civitas akademika dapat membantu pemerintah dalam mencapai masyarakat sejahtera. Perguruan tinggi, menurutnya, harus terus memperkuat Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan kampus.
“Tri Dharma harus dibumikan dalam bentuk praksis, membangun konsep atau teori dan sekaligus praktek di lapangan sesuai kondisi terkini, ” tegasnya.
Ketiga, lanjutnya, civitas akademika dalam konteks kelembagaan sebagai Perguruan Tinggi yang diatur UU harus melakukan otokritik terus-menerus. Utamanya dalam sikap dan tindakannya dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
“Yang paling penting civitas akademika harus menjaga posisi netralnya dalam politik praktis. Sebab masyarakat kampus adalah miniatur masyarakat Pancasila yang Bhinneka Tunggal Ika, ” ucapnya.
Mulyadi menekankan, jangan sampai civitas akademika sebagai lembaga menjadi partisipan politik praktis. Perguruan tinggi tidak boleh memproduksi intelektual picik yang rasisme dan sok nasionalis.
“Sudah merdeka 77 tahun, masak intelektualnya menjadi tukang hina orang lain yang berbeda sikap dan pilihan politik dengan dirinya, ” ucapnya. (*)
Penulis : Sandi Prabowo
Editor : Binti Q Masruroh