SURABAYA – Kerusuhan yang belum lama ini terjadi di Jalan Babarsari, Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menambah daftar riwayat kerusuhan yang terjadi di tempat yang sama sejak 2007. Menurut Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi kerusuhan yang sempat menjadi trending topik di berbagai media sosial itu dilatarbelakangi adanya sentimen dan keterikatan pada komunitas asal.
“(Kerusuhan itu, Red) Lebih pada perilaku kerumunan yang didorong kohesi sosial pada kelompoknya, ” jelas dosen Program Studi Doktor Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) itu.
Oleh karena itu, Bagong memaparkan sejumlah antisipasi yang bisa dilakukan agar kerusuhan tidak terus berlanjut.
Riwayat Kerusuhan di Babarsari
Sebagai informasi, kerusuhan di Babarsari pertama kali terjadi pada 26 Juni 2007 lalu. Kerusuhan itu melibatkan dua kelompok mahasiswa perguruan tinggi swasta di luar Provinsi DIY.
Selain itu, kerusuhan kedua terjadi pada 8 Mei 2012 yang melibatkan warga sekitar Babarsari dengan mahasiswa dari Timor Leste. Selanjutnya, kerusuhan ketiga terjadi pada 12 September 2018 melibatkan dua kelompok massa yang berasal dari Papua dan Ambon.
Tidak berhenti sampai di situ, kerusuhan keempat kembali terjadi pada 5 Maret 2020 melibatkan driver ojek online yang diduga dengan debt collector. Kerusuhan kembali terjadi pada 23 Desember 2021, tetapi kali ini berbeda karena kerusuhan yang terjadi karena adanya insiden penusukan. Terakhir, kerusuhan terjadi pada 2 Juli 2022 di salah satu tempat karaoke di Babarsari.
Prof Bagong SuyantoAntisipasi Kerusuhan
Bagong, pada Selasa (19/7/2022) menjelaskan, terdapat dua hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kerusuhan di Babarsari agar tidak kembali terjadi. “Pertama, dengan membentuk cross cutting affiliation agar tumbuh cross cutting loyalities antar kelompok yang berbeda. Kedua, menyalurkan konflik ke aktivitas yang bisa ditoleransi, yang tidak eksplosif menjadi tawuran yang berdarah-darah, ” terangnya.
Lebih lanjut, Bagong menjelaskan bahwa cross cutting affiliation dapat dilakukan dengan membuat forum pertemuan atau aktivitas yang melibatkan kelompok yang berkonflik. Antisipasi juga dapat dilakukan dengan menyalurkan konflik ke aktivitas yang bisa ditoleransi. Misalnya dengan membuat acara pertandingan atau tour bersama. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh